Pertanyaan itu lebih tepat: mengapa politisi gemar menunda-nunda pembahasan RUU Pemilu? Ya, jawabnya sederhana: melindungi kepentingan bersama.
Sebagaimana dicatat beberapa kelompok masyarakat sipil yang peduli dengan demokrasi dan pemilu, pasca-Perubahan UUD 1945 pembahasan RUU Pemilu, berakhirnya selalu mepet waktu penyelenggaraan pemilu. Padahal idealnya RUU Pemilu disahkan dua tahun sebelum penyelenggaraan pemilu.
UU No 12/2003 untuk Pemilu Legislatif 2004 diundangkan satu bulan sebelum pelaksanaan pemilu, UU No 12/2008 dan UU No 8/2012 untuk Pemilu Legislatif 2009 dan Pemilu Legislatif 2014, diundangkan tiga bulan sebelum pelaksanaan pemilu, dan UU No 7/2017 untuk pemilu serentak presiden-legislatif Pemilu 2019, diundangkan satu bulan sebelum pelaksanaan pemilu.
Padahal setiap kali memulai jabatan baru, baik DPR maupun Presiden berkoar hendak menyelesaikan undang-undang pemilu secepatnya. Mereka selalu memasukkan RUU Pemilu dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) Prioritas pada tahun pertama menjabat. Tetapi setelah itu, berlalu begitu saja. Dua tiga tahun lewat, baru kedabrukan setahun menjelang pemilu.
Mengapa hal itu terjadi? Ada beberapa sebab yang saling berkelindan.
Pertama, seperti tahun ini, 2025, pada tahun-tahun dan periode-periode sebelumnya, juga terjadi perebutan antara alat kelengkapan DPR, seperti Komisi II dan Badan Legislasi. Itu terjadi manakala inisiatif RUU Pemilu berasal dari DPR. Jika inisiatif dari pemerintah biasanya berlangsung lancar, meski kembali tersendat setelah dibahas bersama antarmenteri terkait.
Kedua, setelah melalui perdebatan panjang, beberapa RUU Pemilu inisiatif DPR akhirnya diputuskan dibahas oleh Panitia Khusus RUU Pemilu DPR (Pansus RUU Pemilu). Bagaimana Pansus RUU Pemilu menyiapkan Draf RUU Pemilu, bukan sesuatu yang gampang. Sebab, masing-masing fraksi atau partai politik sudah berancang-ancang dengan usulan pasal, khususnya yang mengatur variabel-variabel sistem pemilu, demi kepentingan masing-masing.
Pembahasan Draf RUU Pemilu bisa berputar-putar pada isu pengaturan sistem pemilu sehingga ketentuan-ketentuan lain terlupakan. Padahal jika sistematika Draf RUU Pemilu disusun terlebih dahulu, akan memudahkan perdebatan. Yang bisa diselesaikan lebih cepat, diputus. Yang perlu alternatif-alternatif, ya disusun alternatifnya. Di sinilah peran pimpinan Pansus RUU Pemilu jadi penting.
Meskipun RUU Pemilu inisiatif DPR diserahkan ke Presiden untuk dilakukan pembahasan bersama, namun ketika berhadapan dengan pemerintah, Pansus RUU Pemilu kembali terbelah. Apa yang sudah disepakati ambyar kembali ketika pemerintah punya pandangan yang kurang lebih sama (tapi berbeda dengan rumusan RUU Pemilu) degnan fraksi tertentu. Pembahasan mulai lagi dari awal.
Melihat kondisi demikian yang berulang setiap kali RUU Pemilu inisiatif DPR, maka sesungguhnya akan lebih praktis bila RUU Pemilu disusun pemerintah, baru kemudian dibahas bareng dengan Pansus RUU Pemilu DPR. Dengan cara demikian pembahasan tidak bolak balik ke titik awal. Lagi pula kalau RUU Pemilu disusun pemerintah relatif lebih cepat diselesaikan karena perdebatan dibatasi.
Ketiga, jika pemerintah, dalam hal ini kementerian dalam negeri, menyiapkan RUU Pemilu, bukan berarti akan berjalan mulus. Oleh Presiden, biasanya Draf RUU Pemilu yang disusun Kemendagri, diminta dibahas antarmenteri terkait, khususnya menteri-menteri bidang politik dan keamanan. Nah di sinilah Draf RUU Pemilu bisa diacak-acak kembali, karena para menteri tampil bersama kepentingan masing-masing. Hanya batas waktu yang ditentukan presiden yang bisa menghentikan perdebatan antarmenteri tersebut.
Keempat, sikap presiden sangat menentukan. Jika presiden punya visi demokrasi, maka penataan pemilu akan dilakukan lebih dini dan sungguh-sungguh. Sebab, pemilu adalah syarat utama demokrasi. Tapi jika presiden tidak punya visi demokrasi, lepas sudah semuanya. Presiden memikirkan keberlanjutan kekuasaan. Presiden mengutamakan keutuhan koalisi partai politik pendukung sehingga pembahasan RUU Pemilu dibelakangkan.