Kontroversi keaslian ijazah sarjana Joko Widodo, membuat KPU Kota Solo, KPU DKI Jakarta, dan KPU menjadi bahan olok-olok. Kembalikan pengenaan syarat pendidikan kepada tujuannya. Bukan untuk jegal lawan.
Kontroversi keaslian ijazah Joko Widodo, presiden dua periode (2014-2019 dan 2019-2024), terus berkepanjangan. Masing-masing pihak yang berseteru saling melapor polisi dan menggugat di pengadilan.
Apapun putusan pengadilan nanti, baik pidana maupun perdata, tidak akan meredakan kontroversi perkara ini. Sebab, banyak pihak –tak hanya kubu yang menyerang Jokowi– meyakini, Jokowi bisa membeli polisi, jaksi, dan hakim.
Hakim konstitusi saja dibikin tak berdaya, apalagi hakim biasa. Ya, kira-kira begitu di benak banyak orang. Apalagi Jokowi masih berteman dan di bawah perlindungan Presiden Prabowo.
Ya, biarlah sejarah yang menelan pahit getir masalah ijazah mantan kepala eksekutif tiga tingkat itu. Saya hendak ingatkan saja: kembalikan soal persyaratan pendidikan ini pada tujuannya, yakni mampu memahami teks dan berkomunikasi dengan baik.
Perhatikan syarat pendidikan –jika memang bisa disebut demikian– undang-undang pemilu pertama, yakni UU No 17/1948. Pasal 1 ayat (2) huruf b menulis, “cakap menulis dan membaca bahasa Indonesia dengan huruf Latin.”
Sesederhana itu syarat pendidikan calon anggota DPR. Sebab, tujuannya agar wakil rakyat memahami dokumen pemerintahan. Syarat ini pun cukup untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan mampu berkomunikasi dengan rakyat.
Jangan heran, jika syarat pendidikan tidak tercantum dalam UU No 7/1953 yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 1955. Pasal 40 undang-undang itu menyatakan, bahwa calon-calon mengisi formulir pencalonan, yang ditandatangani oleh semua pemilih yang mengajukannya.
Undang-undang ini mengabaikan pengaturan syarat calon; sebaliknya percaya kepada rakyat, bahwa mereka mengetahui kemampuan calon. Jadi, pemilih lah yang menentukan layak-tidaknya calon diajukan.
Rezim berganti, tetapi Orde Baru mengembalikan syarat, “Dapat berbahasa Indonesia dan cakap menulis dan membaca huruf Latin,” pada Pasal 16 huruf b UU No 15/1969. Undang-undang ini jadi dasar hukum penyelenggaraan enam kali pemilu Orde Baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997).
Ketika Orde Baru tumbang oleh gerakan reformasi pada 1998, syarat tersebut masih dipertahankan untuk mengatur pemilu transisi, Pemilu 1999. Pasal 43 Ayat (1) huruf c UU No 3/1999 berbunyi, “dapat berbahasa Indonesia, cakap membaca dan menulis.”
Nah, politisasi syarat pendidikan justru terjadi setelah Perubahan UUD 1945.
Penjatuhan Presiden Habibie oleh MPR 1999 dan Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR 2001, menjadi latar politik penyusunan RUU Pemilu. Partai-partai politik berancang-ancang untuk menjegal lawan potensial.
Pagi-pagi Partai Golkar mengajukan syarat pendidikan calon anggota DPR, DPD, dan Presiden adalah sarjana. Syarat ini ditujukan untuk mengganjal Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tidak lulus sarjana.
Sebaliknya, PDIP mengajukan syarat, calon anggota DPR, DPD, dan Presiden tidak pernah menjadi tersangka, terdakwa, atau terpidana. Syarat ini untuk menghadang Ketua Umum Partai Golkar Akbar yang saat itu dibelit kasus korupsi.
Dua partai itu juga mengajukan syarat, ahwa bcalon anggota DPR, DPD, dan Presiden berbadan sehat. Targetnya, mencegah Ketua Umum PKB Abdurrahman Wahid untuk maju jadi calon presiden. Makanya PKB berkukuh pada syarat berpendidikan sarjana dan tidak tersangkut perkara korupsi.
Perdebatan seru sekaligus membingungkan publik. Seakan-akan partai-partai mau memilih pemimpin sehat, berpendidikan tinggi, dan bersih. Padahal tanpa syarat itu Republik Indonesia pernah dipimpin oleh orang-orang hebat.
Mereka tidak bisa menyembunyikan ke publik, bahwa perdebatan syarat kesehatan, pendidikan, dan hukum tersebut hanyalah bagian dari permainan perebutan kekuasaan saja. Jalan keluarnya, ya trade-off.
Hasilnya adalah ketentuan syarat calon anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana tertera pada Pasal 60 huruf e, i, dan UU No 12/2003 dan syarat calon presiden dan wakil presiden sebagaimana tertera dalam UU No 23/2003.
Pasal 60 UU No 12/2003 huruf e berbunyi, “berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau sederajat”; huruf i berbunyi, “tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”, dan; huruf j berbunyi, “sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari dokter yang berkompeten.”
Pasal 6 UU No 23/2003 huruf d berbunyi, “mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakn tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden; huruf p berbunyi, “tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana makar berdasrkan putusan pengasilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,” dan; huruf f berbunyi, “berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau yang sederajat.”
Syarat pendidikan minimal SLTA atau yang sederajat bagi calon anggota DPR, DPD, DPRD dan presiden dan wakil presiden itu, dipertahankan sampai Pemilu 2024. Selanjutnya undang-undang pilkada juga menggunakan syarat yang sama untuk calon kepala daerah hingga Pilkada 2024.
Sejujrunya, saya tidak sepakat dengan syarat pendidikan minimal SLTA tersebut. Sebab, syarat ini selain tidak mencerminkan kemampuan mewakili rakyat dan memimpin pemerintahan, juga mencegah orang-orang tidak berpendidikan formal SLTA untuk menjadi anggota dewan atau kepala pemerintahan. Siapa bisa meragukan kepemimpinan Susi Pudjiastuti, yang hanya lulus SMP?
Selain itu, syarat ini juga mengundang banyak orang yang merasa mampu menjadi anggota dewan dan kepala pemerintahan tetapi tidak lulus SLTA untuk melakukan manipulasi ijazah. Ini sama saja dengan mengundang orang melakukan kejahatan.
Yang mengherankan, mengapa juga KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten harus melakukan verifikasi ijazah sarjana (S1, S2, S3), yang bukan merupakan syarat minimal pendidikan yang diharuskan undang-undang.
Jelas ini menambah repot diri sendiri saja. Atau, KPU memang meyakini bahwa ribet urusan administrasi itu juga mendatangkan “pahala”. Ingat jargon birokrat: kalau bisa sulit mengapa dipermudah?
Akibatnya, gara-gara mengaku telah memverifikasi (keaslian) ijazah Jokowi, kini KPU, KPU DKI Jakarta, dan KPU Kota Solo terseret arus kontroversi. Mereka jadi bahan ketawaan. Metode verifikasinya dianggap kuno.