Apabila Bawaslu ditransformasi jadi lembaga peradilan pemilu, maka letak pengaturannya bukan di Buku Kedua Aktor, melainkan di Buku Keempat Penegakan Hukum. Pengaturan partai politik mendapat porsi luas.
Sebelum membahas aktor pemilu, perlu diingatkan tentang ketentuan yang harus diatur terlebih dahulu sebelum dijabarkan pada buku, bab, atau bagian berikutnya.
Pertama, soal hak pilih, yang menjadi sentral pemilu. Dalam Bab Hak Pilih dipastikan, bahwa hak pemilih itu terdiri: hak memilih dan hak dipilih. Hak memilih oleh setiap warga negara yang berusia 17 tahun (ini ketentuan lama, tapi saya usul 19 tahun, nanti saya jelaskan alasannya).
Selanjutnya terdapat ketentuan, setiap warga negara yang memenuhi ketentuan undang-undang ini memiliki hak dipilih. Siapa mereka? Ini yang akan diatur di buku berikutnya tentang calon anggota legislatif dan calon pejabat eksekutif.
Kedua, dalam Bab V Penyelenggaraan, terdapat ketentuan yang mengatur siapa penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu nasional (DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden) adalah KPU; penyelenggara pemilu provinsi (DPRD provinsi serta gubernur dan wakil gubernur) adalah KPU dan KPU provinsi, dan; penyelenggara pemilu kabupaten/kota (DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota) adalah KPU dan KPU kabupaten/kota.
Bagaimana posisi dan fungsi masing-masing penyelenggara, akan dijelaskan pada Buku Kedua Aktor, termasuk tentang struktur di bawah penyelenggara, yaitu para pelaksana pemilu: panitia pemilu kecamatan, panitia pemilu desa/kelurahan, serta panitia pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
Buku Kedua Aktor
Buku kedua ini terdiri dari empat bab: Bab VI Penyelenggara, Bab VII Partai Politik, Bab VIII Calon, dan Bab IX Pemantau. Penyelenggara, partai politik, dan calon (anggota legislatif dan pejabat eksekutif) adalah aktor utama pemilu. Sedangkan pemantau adalah aktor tambahan yang dipraktikkan pemilu-pemilu demokratis di seluruh dunia. Pemantau adalah bentuk partisipasi masyarakat yang netral dan nonparsial, hadir untuk memonitor perilaku aktor pemilu.
Tentang penyelenggara pemilu, yaitu KPU dan jajarannya, Bawaslu dan jajarannya, serta DKPP. Penyelenggara pemilu di Indonesia semakin lama semakin banyak jumlah lembaga dan petugasnya, sehingga semakin banyak menelan biaya negara. Namun kualitas pemilu semakin memburuk.
Oleh karena itu perlu dievaluasi secara menyeluruh keberadaan tiga macam penyelenggara tersebut. KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, beserta jajarannya (panitia pemilu kecamatan, panitia pemilu desa/kelurahan, serta panitia pemungutan dan penghitungan suara di TPS) perlu diperjelas posisi dan fungsi, tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban masing-masing.
Saya setuju dengan usulan bahwa Bawaslu, Bawaslu provinsi, dan Bawaslu kabupaten/kota ditransformasi menjadi lembaga peradilan pemilu sehingga posisi dan fungsi sebagai penegak hukum, bukan lagi sebagai pengawas.
Ini untuk memastikan “jenis kelamin” lembaga, yang selama ini menjadi pengawas tapi sekaligus penyelesai sengketa. Selanjutnya fungsi pengawasan biar dilakukan peserta pemilu, pemantau pemilu, masyarakat (pemilih), dan media massa. Jika Bawaslu bertransformasi menjadi penegak hukum, maka letak pengaturannya di Buku Keempat Penegakan Hukum.
DKPP dipertahankan, tetapi tugas dan wewenang terbatas pada mengawasi pelanggaran kode etik oleh KPU. Fokusnya hanya KPU, sebab KPU lah yang akan mengawasi pelanggaran kode etik KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Jadi, DKPP tak perlu keliling menghabiskan SPJ.
Karena undang-undang partai politik (UU No 2/2008 dan UU No 2/2011) disatukan dalam (kodifikasi) undang-undang pemilu, maka ruang untuk mengatur partai politik sebagai aktor pemilu harus cukup lapang.
Bab VII Partai Politik mengatur tentang partai politik sebagai organisasi masyarakat, partai politik sebagai badan hukum, partai politik sebagai calon peserta pemilu, dan partai politik sebagai peserta pemilu.
Undang-undang perlu menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk membentuk partai politik sebagai perwujudan dari hak berserikat dan berkumpul. Namun agar diakui negara, partai politik harus berbadan hukum. Di sini diatur syarat-syarat formal mendirikan partai politik.
Undang-undang mengatur kondisi-kondisi yang harus disiapkan partai politik sebelum mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu. Ketentuan syarat-syarat partai politik peserta pemilu, yang dulu diatur di undang-undang partai politik dan undang-undang pemilu (duplikasi) kini diatur dalam satu undang-undang sehingga terjadi kepastian hukum.
Yang perlu didiskusikan adalah pengaturan dana partai politik: diatur di bab partai politik atau diatur di bab khusus tentang dana politik yang menggabungkan pengaturan dana partai politik dan dana kampanye. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, tetapi harus dipilih salah satu.
Bab VIII Calon, isinya tentang syarat-syarat calon anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) dan calon pejabat eksekutif (presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, serta bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota).
Tentang syarat-syarat calon ini tiga masalah yang harus evaluasi secara komprehensif. Pertama, soal umur minimal calon; kedua, soal domisili calon, dan; ketiga, sinkronisasi syarat-syarat calon yang berkali-kali diputus MK, seperti syarat terpidana dan jabatan dan masa jabatan yang dilarang mencalonkan.
Bab XIX Pemantau perlu mengatur lebih jelas tentang hak dan kewajiban serta syarat-syarat pendirian organisasi pemenatau. Perlu dipertimbangkan negara menyediakan anggaran untuk lembaga pemantau. Tentu prinsip transparansi dan akuntabilitas perlu dirinci dalam bentuk pengaturan yang jelas.